Masalah RUU Penyiaran

Romli Atmasasmita. Foto/Istimewa

Romli Atmasasmita

BERITA media sosial akhir-akhir ini diramaikan Bersama Penolakan Kelompok dan kelompok jurnalis serta Dewan Pers yang menolak pemberlakuan RUU Penyiaran yang merupakan Perubahan Kedua atas Aturantertulis Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.

Melihat tahun pemberlakuan Aturantertulis Penyiaran Nomor 32 sama Bersama tahun pemberlakuan Aturantertulis KPK Nomor 30 Tahun 2002, telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun, Supaya dapat dikatakan bahwa perubahan Aturantertulis Penyiaran Nomor 32 tahun 2002 merupakan Keputusan hukum yang tepat sejalan Bersama pepatah Belanda bahwa, hukum selalu tertinggal Di perkembangan Kelompok dan para ahli sosiologi hukum Mengungkapkan hal yang sama.

Masalah pokok yang menolak pemberlakuan RUU tersebut terletak Ke substansi pengaturannya yang dinilai membatasi kebebasan pers khusus jurnalis Untuk meliputi berita dan Lembaga penyiaran publik dan swasta Di Mengadakan konten penyiaran. Pada Menimbang Di RUU dimaksud Di lain Mengungkapkan bahwa penyiaran diarahkan Untuk terciptanya penyelenggaraan penyiaran yang mendidik dan mencerdaskan kehidupan Kelompok, merata dan berkeadilan, Merangsang persatuan dan kesatuan banagsa, berkualitas, kreatif dan inspiratif sesuai jati diri bangsa, bertanggung jawab, bermanfaat serta berkelanjutan sesuai perkembangan ilmu pengethuan dan Ilmu Pengetahuan,pemajuan kebudayaan, dan pembangunan nasional.

Di Pada Menimbang tersebut tercermin tujuan Di perubahan Aturantertulis Penyiaran Tahun 2002, yang Di perkembangannya-berdasarkan Pada menimbang tersebut tidak mencerminkan tujuan-tujuan tersebut seakan-Berencana tanpa arah. Malahan, penyiaran Pada ini baik digital maupun non-digital telah menyimpang jauh Di arah tujuan penyiaran tersebut. Ke Di Pada Menimbang Aturantertulis Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, Di lain Mengungkapkan, bahwa siaran yang dipancarkan dan diterima secara bersamaan, serentak dan bebas, Memiliki pengaruh yang besar Di pembentukan pendapat, sikap, dan perilaku khalayak, maka penyelenggara penyiaran wajib bertanggung jawab Di menjaga nilai moral, tata susila, Kearifan Lokal Global, kepribadian dan kesatuan bangsa yang berlandaskan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.

Hal ini tidak berbeda jauh Bersama Wacana perubahannya/RUU Penyiaran Tahun 2023. Malahan, asas dan tujuan Aturantertulis Penyiaran Tahun 2002 Mengungkapkan Di lain Ke Pasal 2 yang berbunyi Penyiaran diselenggarakan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Bangsa Republik Indonesia Tahun 1945 Bersama asas manfaat, adil dan merata, kepastian hukum, Perlindungan, keberagaman, kemitraan, etika, kemandirian, kebebasan, dan tanggung jawab. Dan Ke Pasal 3 Penyiaran diselenggarakan Bersama tujuan Untuk memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan Kesejaganan umum, Di rangka membangun Kelompok yang mandiri, demokratis, adil dan sejahtera, serta menumbuhkan industri penyiaran Indonesia.

Inti Di Syarat Pada Menimbang dan asas-asas serta tujuan undang-undang tersebut tidak berbeda jauh dan telah sejalan Bersama maksud dan tujuan bernegara sebagaimana dicita-citakan Ke Di Pembukaan UUD 1945. Menyikapi penolakan RUU Penyiaran Tahun 2023 Bersama kalangan jurnalis dan Kelompok sipil ternyara hanya perbedaan sudut pandang, bukan mengenai substansi norma penyiaran, melainkan Ke filosofi yang melatarbelakangi adanya Wacana perubahan Aturantertulis aquo yang notabene tampak atau tercermin Di substansi norma pengaturannya.

Filosofi perubahan sesungguhnya mencemrinkan keprihatian pemerintah melihat praktik penyelenggaraan penyiaran yang telah mewujudkan hak dan kebebasan secara total dan absolut Di arti sebebas-bebasnya dan mengabaikan nilai-nilai kesusilaan yang telah lama dianut bansga Indonesia sebagai Pada Di Kelompok timur. Perlu diketahui bahwa norma suatu undang-undang bukan hanya semata-mata dibaca dan dipahami Di sudut kepentingan hak dan kebebasan individual, melainkan juga harus diimbangi Bersama sudut kepentingan Kelompok Ke mana individu itu hidup dan berdiam.

Filosofi yang mengutamakan hak dan kebebasan individual Untuk Kelompok Ke Bangsa Barat merupakan sesuatu keniscayaan, Berencana tetapi Untuk kita khususnya bangsa Asia termasuk Indonesia, hak dan kebebasan tersebut wajib diwujudkan Bersama memperhatikan aspek norma agama, Ke Di kepatutan dan Perlindungan serta ketertiban masyarkat. Intinya, hak dan kebebasan dimaksud harus disertai dilengkapi kewajiban asasi Untuk mematuhi hak orang lain, Supaya tercipta kehidupan Kelompok yang harmonis, aman, nyaman, tenteram, dan sejahtera.

Artikel ini disadur –> Sindonews Indonesia Ekonomi & Usaha News: Masalah RUU Penyiaran